Amazon slide show

Senin, 17 Maret 2008

Demokrasi?

Memang kita sudah kebablasan.
Celana Melorot (Demokrasi?)

Ini berita dari Amerika Serikat, negara yang dikenal
sangat liberal. Kota Alexandria dan Shreveport dua
kota di negara bagian Louisiana , AS membuat peraturan
baru: melarang remaja putra dan putri mengenakan
celana melorot di bawah pinggang yang memperlihatkan
(maaf) celana dalam mereka.

Peraturan itu, tulis Kantor Berita AFP Prancis 29
Agustus 2007, diterima secara bulat. Larangan ini
lahir setelah warga memprotes gaya berpakaian para
remaja, yang berjalan dengan celana melorot di bawah
pinggang itu. Gaya tersebut, menurut Konselor Kota
Alexandria, Louis Marshall, tidak sopan.

Louis Marshall, yang hidup dalam tradisi demokrasi,
beruntung. Pelarangan itu sama sekali tidak menuai
protes. Tidak ada aktivis yang menyatakan peraturan
tersebut melanggar hak asasi manusia, antipluralisme,
dan konservatif.

Bayangkan jika di Indonesia , negara yang baru saja
menghirup udara demokrasi. Louis Marshall akan dikecam
dan dianggap telah membunuh kebebasan individu untuk
berkreasi. Keputusan pelarangan tersebut bahkan akan
diejek sebagai 'campur tangan pemerintah terhadap hak
pribadi warga negara'.

Ini yang terjadi di Indonesia . Pada Desember 2004,
seratus hari pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menyampaikan kegusarannya atas tayangan
televisi. Melalui Menko Kesra Alwi Shihab ketika itu,
Presiden yang kuat memegang norma agama dan sosial itu
meminta media televisi untuk tidak mempertontonkan
pusar perempuan. "Itu sangat mengganggu," kata
Presiden saat itu.

Pernyataan SBY itu baru sebatas permintaan, belum
menjadi keputusan. Namun, tidak terlalu lama berbagai
reaksi dari kalangan aktivis perempuan bermunculan
dalam diskusi-diskusi dan tulisan di media massa .
Mereka antara lain menyatakan, SBY telah melanggar
prinsip demokrasi, terhadap hak asasi, dan kebebasan
individu berekspresi.

Mereka menentang keras pernyataan SBY itu. Menurut
mereka, apabila negara dibiarkan mengatur hak pribadi
warga negara, di antaranya soal pusar tadi, maka
demokrasi dan kebebasan individu untuk berkreasi, pun
mati. Itu pulalah yang menjadi alasan mereka menentang
Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi.
Apabila disahkan, maka RUAPP tersebut akan mengatur
tubuh perempuan demi kepentingan politik konservatif.

Alexandria dan Shreveport , dua kota di negara bagian
Louisiana , AS, telah memberlakukan keputusan, yang
melarang remaja putra dan putri mengenakan celana
melorot. Keputusan itu disambut baik warga, yang sejak
lahir telah menghirup udara demokrasi. Tidak ada yang
protes dan menyebutnya sebagai antikebebasan
berekspresi, antipluralis, konservatif, dan pertanda
matinya demokrasi.

Demokrasi, sistem yang memiliki berbagai kelemahan,
sesungguhnya tidak mati hanya karena pelarangan celana
yang melorot dan pelarangan memperlihatkan pusar.
Pandangan yang berlebihan terhadap demokrasilah
apalagi membenturkannya dengan nilai-nilai di
masyarakat, nilai-nilai agama, dan menyebutnya sebagai
konservatif yang memungkinkan sistem itu kehilangan
esensinya.

Di Alexandria dan Shreveport , remaja-remaja tidak
lagi mengenakan celana melorot. Mereka tidak merasa
menjadi konservatif apalagi antidemokrasi. Di
Indonesia, para remaja bebas membiarkan (maaf) celana
dalamnya menyembul. Inilah yang disebut para aktivis
sebagai kebebasan berekspresi. Dan, para aktivis itu
sangat takut demokrasi mati hanya karena remaja
menutup pusarnya.
(Asro Kamal Rokan )

2 komentar:

  1. Assalamu'alaikum, democracy lover..

    demos - people
    kratos - rule, strength

    Dalam demokrasi suara rakyat adalah SEGALANYA.

    Sekarang bayangin kalau dari 1000 orang di 1 wilayah, 999 diantaranya adalah tukang bohong. Dipastikan bohong bakal jadi hal yang dilegalkan.

    Memang sih kita diajarkan untuk menuntut ilmu, bahkan sampai ke negeri cina sekalipun. Tapi sepertinya sistem pemerintahan hasil kreasi dari kebudayaan Yunani dengan sekompi dewa-dewinya terlalu menggelikan untuk diaplikasikan di negeri dengan mayoritas penduduk memeluk agama tauhid seperti Indonesia.

    Amerika dijadikan referensi? Jangan lihat gunung es cuma dari puncaknya, look deeper and you'll see the truth.

    BalasHapus
  2. Terima kasih Hesti atas komentarnya.
    Demokrasi yang merupakan suara rakyat yang diwakilkan kepada MPR dan DPR, tapi para wakil itu tak mewakili para konstituennya.
    Sungguh malang nasib rakyat yang hanya dirangkul ketika pemilu untuk mendapatkan suaranya setelah itu amnesia kepada janji......astagfirullah.

    BalasHapus